Surabaya/Jakarta – Skandal suap yang melibatkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam pembebasan Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus penganiayaan berat yang menewaskan Dini Sera Afrianti, kini telah mencapai putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah). Ronald Tannur, anak dari mantan anggota DPR RI Edward Tannur, sempat divonis bebas pada 24 Juli 2024, sebuah keputusan yang memicu kegaduhan publik dan penyelidikan serius oleh aparat penegak hukum.
Penyelidikan mendalam membuktikan bahwa vonis bebas kontroversial tersebut adalah hasil dari praktik korupsi. Sejumlah pihak, mulai dari hakim, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), hingga pihak keluarga Ronald Tannur, terbukti terlibat dalam suap bernilai miliaran rupiah.
BACA JUGA : DPR Tetapkan 64 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2026: Enam Dikeluarkan, Tiga Ditambahkan
Tiga Hakim Pembebas Divonis Bersalah
Tiga hakim yang memimpin sidang dan memvonis bebas Ronald Tannur, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, kini telah dinyatakan bersalah dan akan segera menjalani hukuman penjara.
Kasus Heru Hanindyo menjadi yang terakhir inkrah setelah upayanya mengajukan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung pada Rabu (3/12/2025). Putusan MA, dengan nomor perkara 10230 K/PID.SUS/2025, menguatkan putusan di tingkat pengadilan sebelumnya.
- Heru Hanindyo divonis paling berat, yakni 10 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap sebesar 156.000 dollar Singapura dan Rp 1 miliar.
- Erintuah Damanik divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan. Ia menerima suap senilai 116.000 dollar Singapura.
- Mangapul juga divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan, setelah menerima suap 36.000 dollar Singapura.
Secara total, ketiga hakim tersebut terbukti bersama-sama menerima uang suap senilai Rp 4,6 miliar agar memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur. Mereka terbukti melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik terkait suap maupun gratifikasi. Erintuah dan Mangapul tidak mengajukan banding, sehingga putusan mereka lebih dahulu inkrah.
Keterlibatan Jaringan Suap yang Lebih Luas
Pengusutan kasus ini juga mengungkap jaringan yang lebih luas, melibatkan pejabat tinggi pengadilan dan makelar kasus.
1. Rudi Suparmono (Eks Ketua PN Surabaya)
Sebagai Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono memiliki wewenang dalam penentuan majelis hakim. Ia terbukti menerima suap senilai Rp 21,9 miliar dan diyakini memengaruhi majelis hakim agar mengabulkan permintaan pembebasan dari pengacara Ronald Tannur. Rudi divonis 7 tahun penjara dengan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Putusannya sudah inkrah karena ia tidak mengajukan banding.
2. Zarof Ricar (Eks Pejabat Mahkamah Agung)
Zarof Ricar, mantan pejabat MA yang dikenal sebagai makelar kasus, menerima hukuman terberat. Kasasi Zarof ditolak MA pada 12 November 2025, dan ia akan menjalani hukuman 18 tahun penjara. Ia terbukti menerima gratifikasi dalam jumlah fantastis, yakni lebih dari Rp 920 miliar dan 51 kg emas. Namun, perlu dicatat, penerimaan gratifikasi ini mencakup periode 2012 hingga 2022 dan bukan hanya terkait kasus Ronald Tannur. Penyidik masih terus mendalami kasus-kasus lain yang diperdagangkan oleh Zarof.
3. Meirizka Widjaja (Ibunda Ronald Tannur)
Meirizka Widjaja, ibunda Ronald Tannur, terbukti terlibat aktif dalam proses suap hakim. Ia sudah dieksekusi ke Lapas Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada 18 Juni 2025, setelah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta.
4. Lisa Rachmat (Pengacara Ronald Tannur)
Pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, adalah pihak yang menyuap para hakim. Saat ini, ia masih melakukan perlawanan hukum. Putusan bandingnya diperberat menjadi 14 tahun penjara dengan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan. Berkas kasasinya kini tengah diperiksa di Mahkamah Agung.
Hukuman untuk Pelaku Utama: Ronald Tannur
Sementara itu, Ronald Tannur, pelaku utama dalam kasus penganiayaan Dini Sera Afrianti, yang sempat menikmati vonis bebas, telah dijebloskan ke penjara. Pada Desember 2024, Mahkamah Agung menganulir putusan bebas PN Surabaya dan menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara bagi Ronald.
Kasus ini menjadi sorotan tajam, tidak hanya karena kekejaman penganiayaan yang menewaskan korban, tetapi juga karena berhasil dibongkarnya praktik culas dalam peradilan yang melibatkan sejumlah aparatur hukum dari berbagai tingkatan.
