Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dianugerahi lanskap alam yang memukau, kebudayaan luhur, dan sejarah ketangguhan yang panjang, kini menjelma menjadi panggung bagi sebuah ironi pahit. Di balik keelokan itu, provinsi ini terus-menerus digulung oleh gelombang bencana yang memilukan. Tragedi yang terjadi di akhir November 2025—banjir dan longsor yang menerjang serentak dan melumpuhkan 13 kabupaten dan kota—bukan sekadar pengulangan duka dari bencana Lembah Anai tahun lalu; ia adalah sebuah penagihan alam atas kebekuan kesadaran kolektif kita.
BACA JUGA : Data Terbaru Banjir dan Longsor Sumatera Barat: Sembilan Korban Jiwa, Operasi Pencarian Korban Hilang Terus Berlanjut
Bencana Berulang: Bukan Takdir Geologis, Melainkan Defisit Kebijakan
Rentetan bencana alam yang kian sering dan masif di Sumatera Barat tidak bisa lagi disederhanakan sebagai “takdir geologis” atau anomali cuaca. Lebih dari itu, bencana November 2025 adalah manifestasi telanjang dari sejumlah masalah struktural yang akut:
- Pembusukan Tata Kelola Ruang: Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seringkali menjadi macan kertas yang kalah telak oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, izin alih fungsi lahan yang longgar, dan pembangunan di kawasan rawan bencana.
- Erosi Regulasi dan Pengawasan: Peringatan dini cuaca ekstrem dari BMKG seolah hanya menjadi formalitas. Tidak ada eksekusi mitigasi yang sigap di lapangan, membuktikan adanya policy blindness—kebutaan kebijakan yang fatal.
- Defisit Keberanian Politik: Pemerintah daerah tampak gagal membuat keputusan-keputusan sulit yang populis, seperti penertiban permukiman di sempadan sungai atau penghentian eksploitasi lahan di hulu.
Penetapan status Tanggap Darurat Bencana (25 November – 8 Desember 2025) terasa hambar, hanya seperti ritual administratif berulang. Pengakuan berulang ini justru menegaskan bahwa kita gagal melindungi rakyat sebelum bencana tiba. Jika pola “bencana-tanggap darurat-lupa” ini terus dipelihara, Sumatera Barat sedang berjalan menuju bunuh diri ekologis.
Kerentanan yang Terpampang: Keseharian yang Lumpuh
Hujan ekstrem yang mengguyur sejak pekan terakhir November 2025 langsung melumpuhkan sendi-sendi kehidupan di 13 daerah, mengungkap rapuhnya benteng mitigasi kita:
- Padang Pariaman: Ribuan warga terisolasi akibat banjir parah yang merendam nagari-nagari di Ulakan Tapakis dan Batang Anai.
- Agam: Longsor kembali memutus akses vital dan merenggut nyawa, mengulang kisah pilu yang sama.
- Kota Padang: Bahkan simbol-simbol pendidikan dan pusat kota pun tak luput. Longsor menghantam area kampus UIN Imam Bonjol, dan jalan-jalan utama tergenang, membuat kota yang dikelilingi perbukitan ini terasa “terkepung” oleh konsekuensi tata ruang yang dikhianati.
Fakta ini adalah tamparan keras bagi pemerintah daerah. Ke mana perginya evaluasi dari bencana galodo Marapi dan banjir bandang 2024? Mengapa pola kehancuran yang sama terulang dengan presisi yang mengerikan? Ini menunjukkan adanya kegagalan mendasar dalam manajemen risiko bencana dan penerapan lessons learned.
Dari Reaktif Menjadi Proaktif: Menagih Kehadiran Negara
Putusnya jembatan dan terban-nya jalan hari ini adalah bukti bahwa perbaikan infrastruktur pascabencana sebelumnya tidak dibarengi dengan penguatan standar ketahanan bencana. Perbaikan yang dilakukan hanyalah kosmetik, bukan solusi fundamental.
Negara kembali hadir setelah kejadian—membawa perahu karet dan nasi bungkus. Namun, rakyat sejatinya membutuhkan negara hadir sebelum air bah menerjang, dalam wujud:
- Penguatan Infrastruktur Berbasis Ketahanan: Membangun tanggul yang kokoh, drainase kota yang berfungsi optimal, dan infrastruktur jalan dengan standar yang mampu menahan tekanan geologis dan hidrologis ekstrem.
- Penegakan Hukum Tata Ruang yang Disiplin: Menghentikan segala bentuk alih fungsi lahan di kawasan resapan air dan zona bahaya dengan sanksi tegas.
- Sistem Mitigasi Komprehensif: Mengintegrasikan peringatan dini BMKG dengan aksi cepat tanggap di tingkat nagari/desa.
Sumatera Barat berada di persimpangan jalan. Bencana November 2025 adalah lonceng peringatan terakhir. Provinsi ini harus segera beranjak dari paradigma reaktif ke paradigma proaktif dalam menghadapi risiko. Hanya dengan keberanian politik dan disiplin tata ruang yang kuat, ironi pahit ini bisa dihentikan, dan keelokan alamnya dapat diwariskan kepada generasi mendatang, bukan sekadar warisan duka dan kehancuran.
Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dianugerahi lanskap alam yang memukau, kebudayaan luhur, dan sejarah ketangguhan yang panjang, kini menjelma menjadi panggung bagi sebuah ironi pahit. Di balik keelokan itu, provinsi ini terus-menerus digulung oleh gelombang bencana yang memilukan. Tragedi yang terjadi di akhir November 2025—banjir dan longsor yang menerjang serentak dan melumpuhkan 13 kabupaten dan kota—bukan sekadar pengulangan duka dari bencana Lembah Anai tahun lalu; ia adalah sebuah penagihan alam atas kebekuan kesadaran kolektif kita.
Bencana Berulang: Bukan Takdir Geologis, Melainkan Defisit Kebijakan
Rentetan bencana alam yang kian sering dan masif di Sumatera Barat tidak bisa lagi disederhanakan sebagai “takdir geologis” atau anomali cuaca. Lebih dari itu, bencana November 2025 adalah manifestasi telanjang dari sejumlah masalah struktural yang akut:
- Pembusukan Tata Kelola Ruang: Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seringkali menjadi macan kertas yang kalah telak oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, izin alih fungsi lahan yang longgar, dan pembangunan di kawasan rawan bencana.
- Erosi Regulasi dan Pengawasan: Peringatan dini cuaca ekstrem dari BMKG seolah hanya menjadi formalitas. Tidak ada eksekusi mitigasi yang sigap di lapangan, membuktikan adanya policy blindness—kebutaan kebijakan yang fatal.
- Defisit Keberanian Politik: Pemerintah daerah tampak gagal membuat keputusan-keputusan sulit yang populis, seperti penertiban permukiman di sempadan sungai atau penghentian eksploitasi lahan di hulu.
Penetapan status Tanggap Darurat Bencana (25 November – 8 Desember 2025) terasa hambar, hanya seperti ritual administratif berulang. Pengakuan berulang ini justru menegaskan bahwa kita gagal melindungi rakyat sebelum bencana tiba. Jika pola “bencana-tanggap darurat-lupa” ini terus dipelihara, Sumatera Barat sedang berjalan menuju bunuh diri ekologis.
Kerentanan yang Terpampang: Keseharian yang Lumpuh
Hujan ekstrem yang mengguyur sejak pekan terakhir November 2025 langsung melumpuhkan sendi-sendi kehidupan di 13 daerah, mengungkap rapuhnya benteng mitigasi kita:
- Padang Pariaman: Ribuan warga terisolasi akibat banjir parah yang merendam nagari-nagari di Ulakan Tapakis dan Batang Anai.
- Agam: Longsor kembali memutus akses vital dan merenggut nyawa, mengulang kisah pilu yang sama.
- Kota Padang: Bahkan simbol-simbol pendidikan dan pusat kota pun tak luput. Longsor menghantam area kampus UIN Imam Bonjol, dan jalan-jalan utama tergenang, membuat kota yang dikelilingi perbukitan ini terasa “terkepung” oleh konsekuensi tata ruang yang dikhianati.
Fakta ini adalah tamparan keras bagi pemerintah daerah. Ke mana perginya evaluasi dari bencana galodo Marapi dan banjir bandang 2024? Mengapa pola kehancuran yang sama terulang dengan presisi yang mengerikan? Ini menunjukkan adanya kegagalan mendasar dalam manajemen risiko bencana dan penerapan lessons learned.
Dari Reaktif Menjadi Proaktif: Menagih Kehadiran Negara
Putusnya jembatan dan terban-nya jalan hari ini adalah bukti bahwa perbaikan infrastruktur pascabencana sebelumnya tidak dibarengi dengan penguatan standar ketahanan bencana. Perbaikan yang dilakukan hanyalah kosmetik, bukan solusi fundamental.
Negara kembali hadir setelah kejadian—membawa perahu karet dan nasi bungkus. Namun, rakyat sejatinya membutuhkan negara hadir sebelum air bah menerjang, dalam wujud:
- Penguatan Infrastruktur Berbasis Ketahanan: Membangun tanggul yang kokoh, drainase kota yang berfungsi optimal, dan infrastruktur jalan dengan standar yang mampu menahan tekanan geologis dan hidrologis ekstrem.
- Penegakan Hukum Tata Ruang yang Disiplin: Menghentikan segala bentuk alih fungsi lahan di kawasan resapan air dan zona bahaya dengan sanksi tegas.
- Sistem Mitigasi Komprehensif: Mengintegrasikan peringatan dini BMKG dengan aksi cepat tanggap di tingkat nagari/desa.
Sumatera Barat berada di persimpangan jalan. Bencana November 2025 adalah lonceng peringatan terakhir. Provinsi ini harus segera beranjak dari paradigma reaktif ke paradigma proaktif dalam menghadapi risiko. Hanya dengan keberanian politik dan disiplin tata ruang yang kuat, ironi pahit ini bisa dihentikan, dan keelokan alamnya dapat diwariskan kepada generasi mendatang, bukan sekadar warisan duka dan kehancuran.
Sumatera Barat Berhak Memilih: Antara Warisan Duka atau Ketangguhan Sejati
Tragedi November 2025 adalah puncak dari akumulasi kegagalan tata kelola. Ia bukan hanya masalah alam yang murka, melainkan cerminan dari kebijakan yang abai dan pengkhianatan terhadap ruang hidup. Pemprov Sumatera Barat kini dihadapkan pada pilihan mendasar: terus-menerus terperangkap dalam ritual tanggap darurat yang mahal dan memilukan, atau bangkit dengan keberanian politik untuk mengambil keputusan sulit.
Rencana mitigasi yang komprehensif, penegakan hukum tata ruang yang tanpa kompromi, dan investasi serius pada infrastruktur berketahanan adalah satu-satunya jalan keluar. Jika tidak, keindahan alam Minangkabau akan terus disandingkan dengan air mata dan puing-puing, mewariskan kepada generasi mendatang bukan budaya luhur, melainkan warisan duka dan bunuh diri ekologis. Masyarakat menanti negara hadir bukan dengan nasi bungkus setelah bencana, melainkan dengan ketegasan kebijakan sebelum air bah kembali menerjang.
