Kepergian Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, untuk menunaikan ibadah umrah di tengah bencana banjir dan longsor yang melanda wilayahnya kembali menyingkap cacat fundamental dalam praktik kepemimpinan pemerintahan daerah di Indonesia. Kasus ini bukan sekadar persoalan waktu yang tidak tepat, melainkan pelanggaran serius terhadap etika publik dan ketentuan hukum yang mengatur perilaku kepala daerah.
Peristiwa serupa pernah terjadi, di mana pejabat daerah dikenai sanksi karena bepergian ke luar negeri tanpa izin di masa sensitif—sebuah preseden yang seharusnya menjadi pelajaran penting. Jabatan publik membawa konsekuensi bahwa kepentingan rakyat harus selalu ditempatkan di atas urusan pribadi. Sayangnya, pelajaran ini kerap dilupakan.
BACA JUGA : Mendagri Panggil Bupati Aceh Selatan yang Umrah di Tengah Bencana: Ancaman Sanksi Menanti
Sensitivitas sebagai Fondasi Kepemimpinan
Selama ini, ukuran keberhasilan seorang pemimpin daerah sering ditekankan pada kreativitas dan inovasi program. Meskipun kedua hal itu penting untuk pembangunan, dalam konteks pemerintahan, keduanya tidak cukup. Pemimpin publik harus memiliki sifat fundamental yang tidak bisa digantikan oleh apa pun: sensitivitas terhadap penderitaan rakyatnya.
Pemimpin yang baik bukan hanya menghadirkan program, tetapi menghadirkan dirinya. Kehadiran fisik kepala daerah di tengah musibah besar—baik banjir, gempa, atau longsor—bukanlah sekadar formalitas atau simbol belaka. Itu adalah bentuk pengakuan bahwa seorang pemimpin mengerti skala penderitaan warganya, memahami situasi di lapangan, dan siap memimpin langsung proses penanggulangan darurat. Empati tidak dapat didelegasikan.
Ketika seorang kepala daerah justru meninggalkan posisinya untuk bepergian ke luar negeri saat rakyatnya berjuang menyelamatkan diri, yang hilang bukan hanya pemimpinnya, tetapi juga rasa aman dan kepercayaan publik. Ini adalah bentuk pengabaian yang paling nyata terhadap mandat kemanusiaan.
Mekanisme Negara dan Konsekuensi Hukum
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas mewajibkan setiap kepala daerah yang akan bepergian ke luar negeri—termasuk untuk perjalanan pribadi seperti umrah atau berobat—untuk meminta izin dari pemerintah pusat (Kemendagri).
Mekanisme izin ini penting karena tiga alasan krusial:
- Menjamin Roda Pemerintahan: Memastikan administrasi dan layanan publik tetap berjalan lancar.
- Menghindari Kekosongan Kepemimpinan: Mencegah kevakuman otoritas, khususnya dalam situasi genting seperti bencana.
- Representasi Negara: Mengingat kepala daerah membawa nama negara, bukan hanya namanya sendiri.
Ketika Bupati Aceh Selatan terbukti berangkat tanpa izin di tengah status tanggap darurat, konsekuensi hukum pun otomatis terbuka. Pasal 76 ayat (1) huruf i dari Undang-Undang yang sama mengatur sanksi bagi kepala daerah yang melanggar larangan tersebut. Sanksi yang dapat dikenakan berupa pemberhentian sementara selama tiga bulan dan pembinaan khusus di Kementerian Dalam Negeri. Selama masa sanksi, tugas kepala daerah akan diambil alih oleh wakilnya, memastikan pemerintahan tidak terganggu.
Titik Balik Budaya Kepemimpinan
Dalam kondisi bencana, satu prinsip harus selalu diingat: Kepala daerah harus hadir. Kehadiran ini tidak bisa diwakilkan oleh staf atau digantikan oleh laporan. Pemimpin perlu melihat langsung kondisi aktual di lapangan: akses jalan yang terputus, jembatan rusak, kondisi tempat pengungsian, ketersediaan logistik, hingga rasa kehilangan warga. Di momen seperti itu, rakyat membutuhkan kepemimpinan yang nyata dan teguh, bukan sekadar pengganti formal.
Tindakan cepat partai politik yang mencopot jabatan struktural bupati adalah sinyal etika yang baik, namun belum cukup. Dalam negara hukum, sanksi harus dijatuhkan melalui mekanisme resmi yang diatur oleh undang-undang.
Jika pemerintah pusat melalui Mendagri bertindak tegas dan menerapkan sanksi sesuai aturan, kasus ini dapat menjadi titik balik penting untuk memperbaiki budaya kepemimpinan di daerah. Jika tidak, pola yang sama akan terus berulang: pemimpin meninggalkan daerah saat bencana, dan rakyat kembali menjadi korban.
Bencana selalu menguji tiga hal: kesiapan daerah, kekompakan pemerintahan, dan yang paling utama, integritas pemimpinnya. Tidak ada inovasi, proyek pembangunan, atau pencitraan yang dapat menutupi ketidakhadiran seorang pemimpin ketika rakyat membutuhkan pertolongan. Pemimpin pemerintahan yang sesungguhnya adalah yang mampu hadir—hadir secara pikiran, hadir secara kebijakan, dan hadir secara fisik. Karena dalam urusan kemanusiaan, ketidakhadiran sang pemimpin adalah bentuk paling nyata dari pengabaian penderitaan rakyat.
