Ironi yang terjadi di ujung barat Indonesia merupakan cermin retak dari nurani kebangsaan kita. Hampir delapan dekade silam, rakyat Aceh dengan ikhlas melucuti perhiasan, mengumpulkan 20 kilogram emas demi menghadiahi Republik ini sayap pertamanya, pesawat Seulawah RI-001—sebuah tindakan heroik saat kemerdekaan terancam dicekik Belanda. Namun, hari ini, di tengah kepungan banjir besar Desember 2025, sayap penyelamat dari pemerintah pusat terasa begitu berat mengepak. Bantuan negara terasa begitu jauh untuk sekadar hadir membalas budi ke Tanah Rencong. Tragedi di Aceh ini sesungguhnya bukan sekadar musibah lokal, melainkan gejala dari penyakit kronis yang lebih besar dalam tubuh birokrasi dan tata kelola negara.

Persoalan ini melampaui urusan Aceh yang terendam atau lambatnya perahu karet tiba. Ini adalah pertanyaan eksistensial mengenai di manakah kehadiran negara saat bencana belum mengetuk pintu. Di manakah negara dalam sunyi senyap keseharian rakyatnya, sebelum krisis memaksa kehadirannya?

BACA JUGA : Konsorsium Aparat Usut Misteri Kayu Gelondongan Banjir Sumatera

Sindrom Obat Pereda Nyeri: Kegagalan Merawat Hulu

Peristiwa banjir di Aceh kembali menelanjangi pola tata kelola yang terperangkap dalam sindrom obat pereda nyeri. Birokrasi kita memiliki kecenderungan reaktif, hanya sibuk memberikan dosis bantuan ketika rasa sakit—atau dalam hal ini, penderitaan—sudah tak tertahankan. Pejabat baru terlihat berkeringat ketika air sudah menenggelamkan atap, dan bergerak sigap ketika tagar kemarahan sudah memuncaki tren media sosial. Negara seolah hanya berfungsi sebagai unit gawat darurat, tetapi lupa cara menjadi penjaga kesehatan harian warganya.

Data di lapangan menunjukkan kebenaran yang menyakitkan: runtuhnya 224 jembatan dan air bah yang membawa material kayu gelondongan di Aceh Tamiang bukan terjadi semalam. Ini adalah bukti nyata kegagalan negara merawat hulu. Hutan yang gundul dan daerah aliran sungai yang rusak dibiarkan tanpa pemulihan berarti selama bertahun-tahun. Air bah tidak turun begitu saja sebagai takdir hujan semata. Ia meluncur deras tanpa hambatan karena benteng ekologis kita telah runtuh, dirobohkan oleh izin-izin tambang dan perkebunan yang tak terkendali. Jembatan tidak ambruk hanya karena arus deras sehari, melainkan karena negara absen melakukan audit kelayakan dan pemeliharaan saat matahari bersinar. Banjir besar ini hanyalah hakim yang menjatuhkan vonis atas kelalaian panjang tersebut.

Mosi Tidak Percaya Publik dan Paradoks Kedaulatan

Ketidakhadiran dalam fase pencegahan ini diperparah dengan kelambanan yang mencolok dalam fase kritis, atau yang dikenal sebagai golden time. Ketika birokrasi masih sibuk dengan prosedur administrasi dan pencairan dana siap pakai, inisiatif warga melesat mendahului negara. Figur publik seperti Ferry Irwandi mampu menggalang Rp 10,3 miliar dan mengirim 5,2 ton logistik hanya dalam 24 jam. Kontras ini mencolok: pemengaruh media sosial bekerja dengan modal kepercayaan publik yang tinggi dan mekanisme yang gesit, sementara negara bekerja dengan kerangka acuan yang kaku dan lamban. Kecepatan inilah yang menyelamatkan nyawa, dan bukan stempel basah administrasi.

Fenomena 87.000 donatur yang menitipkan uangnya kepada figur publik merupakan tamparan keras bagi sistem. Rakyat sesungguhnya telah membayar pajak untuk perlindungan negara. Namun, saat krisis terjadi, rakyat lebih percaya menyalurkan dana lewat jalur nonpemerintah. Ini adalah mosi tidak percaya yang sunyi, namun memekakkan telinga, menunjukkan kesenjangan akut antara harapan publik dan kinerja birokrasi.

Lebih jauh, terdapat paradoks menyedihkan perihal makna kedaulatan. Dulu Aceh memberikan harta fisik berupa emas demi kedaulatan politik Indonesia di mata dunia. Kini, Jakarta justru mengatasnamakan kedaulatan politik untuk menolak bantuan teknologi asing—yang diminta warga terdampak—demi kelancaran komunikasi. Kedaulatan macam apa yang kita rayakan di atas penderitaan pemegang saham republik ini?

Momentum Reformasi Paradigma Birokrasi

Kita tidak bisa membiarkan Republik ini dikelola dengan manajemen pemadam kebakaran semata. Rakyat membutuhkan negara yang hadir sebagai penjaga malam yang waspada, pengayom siang yang bekerja dalam senyap. Kualitas pemerintahan modern tidak diuji dari seberapa banyak bantuan yang disalurkan pascabencana. Kualitas itu justru diukur dari seberapa sedikit warganya yang menderita karena risiko yang sebenarnya bisa dimitigasi sejak awal.

Inilah mengapa narasi balas budi kepada Aceh tidak cukup dibayar dengan dana rekonstruksi triliunan rupiah setelah semuanya hancur. Utang sejarah itu hanya bisa dicicil dengan reformasi paradigma birokrasi secara total. Kita membutuhkan aparatur sipil negara yang menjadikan melayani sebagai etos harian, bukan sekadar kewajiban saat status darurat sipil ditetapkan.

Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum emas untuk mengubah kultur usang ini. Perintah Presiden harus melampaui sekadar mobilisasi tentara untuk tanggap darurat bencana. Instruksi yang lebih mendesak adalah memastikan seluruh organ pemerintahan bekerja dalam mode antisipatif. Negara harus hadir di ruang sunyi dan di lorong birokrasi perizinan yang bersih. Negara harus hadir dalam pemeliharaan infrastruktur yang disiplin. Negara harus hadir di perlindungan lingkungan yang tak bisa ditawar lagi.

Ketika negara alpa dalam keseharian, bencana alam akan selalu bermutasi menjadi bencana kemanusiaan yang parah. Sebaliknya, ketika negara hadir secara penuh dalam rutinitas pembangunan yang berkualitas, dampaknya akan berbeda. Bencana mungkin tetap datang sebagai takdir alam, tetapi ia tidak akan meluluhlantakkan martabat manusia di dalamnya.

Aceh hari ini memberi kita pelajaran mahal. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang hanya memiliki memori jangka pendek, menangis saat bencana lalu lupa dan kembali abai saat air surut. Solidaritas sosial yang meledak saat ini adalah modal sosial luar biasa, tetapi hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi negara untuk melepaskan tanggung jawab utamanya. Republik ini didirikan bukan hanya untuk mengelola krisis, melainkan untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berkelanjutan.

Rakyat Aceh dulu memberikan emas agar negara ini ada dan berdaulat penuh. Kini saatnya negara membuktikan kedaulatannya bukan dengan pamer kekuatan politik, melainkan dengan hadir melayani warganya yang paling rentan. Negara harus hadir merawat hutan sebelum gundul dan hadir menyiapkan perahu sebelum air naik. Kehadiran negara adalah soal rasa aman yang dirasakan warga setiap kali mereka memejamkan mata di malam hari. Mereka harus yakin bahwa ada sistem yang bekerja melindungi mereka saat terlelap. Itulah hakikat republik yang sesungguhnya. Tanpa jaminan rasa aman itu, kita hanya sekadar kerumunan orang yang hidup bersama di atas tanah yang rawan, menunggu giliran siapa yang akan berteriak minta tolong berikutnya.