Aceh kembali tersentak oleh rentetan banjir yang melumpuhkan sejumlah kabupaten dan kota, menegaskan status darurat ekologis di Serambi Mekkah. Tragedi ini bukan sekadar insiden cuaca, melainkan sebuah krisis struktural yang menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, diakibatkan oleh runtuhnya daya dukung alam.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, secara tegas menyatakan bahwa banjir berulang ini adalah hasil akumulasi dari dosa-dosa lingkungan selama bertahun-tahun: deforestasi yang masif, ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar, aktivitas konsesi tambang, dan yang tak kalah merusak, Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di kawasan hulu. Shalihin menyoroti bahwa fokus penanganan yang hanya terpaku pada solusi tambal sulam di hilir tidak akan pernah menyelesaikan masalah yang berakar pada kerusakan di hulu.
Hulu Terkoyak, Hilir Tenggelam
WALHI Aceh memantau kerusakan paling parah terjadi di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) vital. DAS Krueng Peusangan menjadi sorotan utama, di mana kerusakan hulu berdampak langsung dan parah pada wilayah hilir seperti Aceh Utara dan Bireuen.
Kerusakan DAS yang signifikan, diperparah oleh laju deforestasi yang kian cepat, menciptakan kondisi fatal:
- Hilangnya Penyangga Ekologis: Pembukaan jalan baru di hutan dan ekspansi perkebunan skala besar mempercepat pembalakan liar. Hutan yang berfungsi sebagai spons raksasa telah hilang. Akibatnya, curah hujan tinggi langsung berubah menjadi limpasan air yang besar dan tak terkendali, meluncur bebas ke dataran rendah.
- Labilnya Struktur Tanah: Aktivitas PETI yang menonjol dalam dua tahun terakhir di daerah hulu telah menghancurkan struktur tanah dan kerusakan DAS. Kerusakan ini menyebabkan tanah menjadi sangat labil, memicu longsoran yang mudah terjadi, dan membuat banjir menjadi tak terbendung.
Sungai yang Telah Mati
Selain kerusakan hulu, WALHI juga menyoroti kondisi tragis sungai-sungai utama di Aceh. Sedimentasi berat yang diakibatkan oleh aktivitas galian C di sepanjang aliran sungai telah mendangkalkan alirannya secara ekstrem.
“Sungai-sungai kita sudah tidak berfungsi. Sedimentasi ekstrem membuat daya tampungnya runtuh,” ujar Shalihin. Kondisi ini menjelaskan mengapa begitu hujan deras datang, air dengan cepat melompat dari palung sungai, langsung menerjang permukiman warga. Sungai yang seharusnya menjadi saluran air kini hanya menjadi pemicu bencana.
Korban Jiwa dan Tanggung Jawab Moral
Dampak dari kegagalan tata kelola ruang dan lingkungan ini diukur dengan nyawa. Berdasarkan data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh hingga Kamis (27/11/2024), jumlah korban meninggal dunia telah mencapai 30 orang, tersebar di empat kabupaten. Angka korban terbanyak berada di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, wilayah yang notabene berada di kawasan pegunungan dan rentan longsor serta banjir bandang.
WALHI Aceh menekankan bahwa upaya penanggulangan harus segera bergeser dari reaktif ke restoratif dan transformatif.
“Restorasi ekologis dan pemulihan alam harus segera dilakukan, bukan hanya proyek reaktif. Lalu, audit menyeluruh perizinan yang berdampak pada kerusakan hulu dan hutan harus dilakukan,” tegas Shalihin. Audit ini harus mencakup konsesi sawit, tambang, dan izin pemanfaatan hutan lainnya.
WALHI juga mendesak agar pemerintah memberi ruang yang luas untuk partisipasi masyarakat mukim dalam tata kelola lingkungan, mengakui kearifan lokal dalam menjaga ekosistem. Tragedi ini adalah panggilan darurat bagi Pemerintah Aceh untuk mengambil tindakan radikal dan tegas, menghentikan eksploitasi yang merusak, dan mengembalikan fungsi ekologis hulu sebelum alam menagih korban yang lebih besar.
BACA JUGA : Respons Jakarta untuk Tiga Provinsi: Bantuan Kemanusiaan Mengalir ke Sumatera
Kebijakan Mendesak yang Harus Dilakukan Pemerintah Aceh
Menghadapi krisis ekologis yang fatal dan tuntutan WALHI, Pemerintah Aceh tidak bisa lagi menunda reformasi kebijakan. Langkah-langkah strategis yang harus segera diimplementasikan meliputi:
1. Audit dan Moratorium Perizinan Total
- Audit Perizinan Ekologis: Bentuk tim independen (melibatkan akademisi dan LSM lingkungan) untuk melakukan audit ekologis menyeluruh terhadap semua izin konsesi perkebunan skala besar (sawit), pertambangan (termasuk batu bara dan mineral), dan izin pemanfaatan hutan yang berada di kawasan hulu dan DAS kritis.
- Moratorium Ketat: Segera terapkan moratorium total terhadap penerbitan izin baru untuk kegiatan yang berpotensi merusak hutan, DAS, dan kawasan resapan air.
- Penutupan PETI: Libatkan aparat keamanan dan penegak hukum secara aktif dan berkelanjutan untuk memberantas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) hingga ke akar-akarnya, diikuti dengan upaya pemulihan (remediasi) lahan bekas tambang.
2. Restorasi dan Tata Kelola Air Terpadu
- Restorasi Ekologis DAS: Alihkan anggaran besar-besaran dari proyek infrastruktur kosmetik ke program restorasi ekologis di hulu DAS Krueng Peusangan dan DAS kritis lainnya. Program ini harus mencakup reboisasi dengan tanaman lokal dan penguatan lereng.
- Regulasi Galian C: Tinjau ulang semua izin Galian C. Terapkan peraturan ketat mengenai zona penambangan pasir dan batu untuk mencegah sedimentasi ekstrem yang mendangkalkan sungai. Wajibkan restorasi pasca-penambangan bagi semua operator.
- Manajemen Banjir Holistik: Kembangkan strategi manajemen banjir yang tidak hanya berfokus pada pembangunan tanggul, tetapi juga pada upaya penyerapan air di hulu melalui pembangunan cekdam dan infrastruktur hijau.
3. Pelibatan Masyarakat dan Penegakan Hukum
Titik Balik Aceh
Banjir berulang di Aceh bukan sekadar takdir yang harus diterima, melainkan cermin tragis dari pilihan pembangunan yang salah dan kebijakan yang tumpul. Korban jiwa 30 orang hingga saat ini adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar atas nama keuntungan jangka pendek.
Pernyataan WALHI Aceh bahwa “sungai-sungai kita sudah tidak berfungsi” harus menjadi lonceng peringatan terakhir. Pemerintah Aceh kini memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk menghentikan pola destruktif ini. Melalui audit perizinan yang berani, penegakan hukum yang tegas, dan restorasi ekologis yang tulus, Aceh dapat beralih dari fase krisis ke fase pemulihan. Kegagalan untuk bertindak tegas saat ini hanya akan menjamin bahwa bencana tahun depan akan lebih parah, mewariskan kepada generasi masa depan bukan lagi Serambi Mekkah yang damai, melainkan Serambi yang terkoyak dan tenggelam.
