Bogor – Di persimpangan Jalan Paledang, tepat di depan jalan menuju Stasiun Paledang, berdiri sebuah struktur batu kecil yang menua perlahan. Bangunan dengan dinding putih kusam dan pintu melengkung ini diyakini oleh warga setempat sebagai bekas pos penjagaan era kolonial Belanda. Bagi Bambang (73), bangunan mungil berdimensi sederhana ini telah menjadi sumber penghidupan, tempat ia membuka jasa pangkas rambut dengan tarif Rp 10.000 selama dua setengah tahun terakhir.

Dari kejauhan, bangunan tersebut menyajikan pemandangan kontras: sisa-sisa sejarah yang ditopang oleh kesederhanaan. Atapnya bergelombang, dindingnya dipenuhi coretan, dan papan nama sederhana bertuliskan “Pangkas Rambut 10.000” tergantung di atas pintu melengkungnya.

Baca Juga : Pengawasan Efektif Mendesak: Kompolnas Akui Perlunya Reformasi Demi Profesionalisme Polri

Kesederhanaan di Atas Runtuhan Waktu

Di dalam ruangan yang tidak memiliki aliran listrik tersebut, Bambang bekerja hanya dengan peralatan dasar. Tidak ada cermin besar atau lampu neon layaknya barbershop modern. Ruang kerjanya hanya diisi oleh gunting manual, dua mesin cukur elektrik yang dioperasikan seadanya, dan kursi pelanggan sederhana. Keseluruhan atmosfernya adalah ketekunan seorang lelaki tua yang terus bekerja melawan usia.

Setelah menyelesaikan satu pelanggan, Bambang mempersilakan untuk duduk di kursi plastik biru di depan bangunan yang terlihat rapuh. Ia menyambut dengan senyum malu, seolah belum terbiasa dengan perhatian dari luar.

“Saya buka di sini sudah sekitar dua tahun setengah. Daripada tempat ini tidak digunakan, mending saya manfaatkan,” ujar Bambang pada Rabu (26/11/2025).

Lingkungan di sekitar bangunan tersebut juga mencerminkan usia dan ketidakacuhan: tumpukan batang kayu bekas, rumput liar yang meninggi, hingga material tripleks bekas yang menandakan kerapuhan. Bambang menyadari betul bahwa ruang yang ia manfaatkan ini bukanlah miliknya, dan ia siap menghadapi kenyataan jika sewaktu-waktu harus pindah. “Kalau pun diusir sama yang punya ya tidak apa-apa, karena ini bukan bangunan saya,” katanya pasrah.

Bangunan yang Merunduk pada Sejarah

Keyakinan warga bahwa bangunan kecil itu dulunya adalah pos penjagaan Belanda didukung oleh letaknya yang strategis di jalur lama kota serta arsitekturnya yang khas, seperti dinding tebal dan pintu melengkung yang cocok untuk pos jaga tunggal. Meskipun tidak ada plakat atau penanda sejarah resmi, cerita ini diwariskan secara lisan.

Menariknya, Bambang mengungkapkan bahwa fungsi bangunan itu sebagai tempat potong rambut ternyata memiliki sejarah panjang yang terputus dan kini tersambung kembali.

“Katanya bangunan ini dulunya pos penjagaan Belanda. Tapi yang saya tahu, dari tahun 60-an tempat ini dipakai tukang cukur juga,” jelasnya.

Sebelum Bambang menempatinya, bangunan tersebut berada dalam kondisi mengenaskan, dipenuhi rongsokan, kotor, dan bahkan kerap dijadikan tempat tidur tunawisma. Ia kemudian berinisiatif membersihkannya. Setelah puluhan tahun terabaikan, bangunan bersejarah itu kini kembali menjadi ruang kerja seorang tukang cukur, melanjutkan siklus sejarah yang terputus.

Ruang Hidup di Tengah Kebisingan Kota

Di tengah lalu lintas Jalan Paledang yang padat di siang hari, halaman kecil di depan warung Bambang justru terasa teduh berkat naungan pepohonan besar. Pelanggan Bambang, yang terdiri dari tukang becak, pengemudi ojek daring, hingga anak muda, menunggu giliran di kursi plastik putih.

Tempat ini menawarkan pengalaman potong rambut yang minimalis dan jujur. Tidak ada musik, pendingin ruangan, atau antrian panjang. Hanya bunyi gunting, hembusan angin, dan kebisingan kendaraan yang melintas. Bambang merasa cukup karena beberapa pelanggan lama memilih kembali datang, menandakan mereka cocok dengan hasil kerja dan keramahan yang ia tawarkan.