Jakarta – Menteri Sosial Saifullah Yusuf, atau yang akrab disapa Gus Ipul, menyoroti fenomena unik dalam penanganan bencana di Indonesia. Menurutnya, ketersediaan logistik bagi korban bencana tidak pernah menjadi isu utama. Justru, tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah dan relawan terletak pada manajemen distribusi untuk menjangkau wilayah-wilayah yang sulit diakses.

Pernyataan ini disampaikan Gus Ipul di Kementerian Sosial, Jakarta Pusat, pada Rabu (10/12/2025), menanggapi dinamika penanganan bencana yang kerap terjadi di tanah air.

BACA JUGA : Dilema Trotoar Cilincing: Antara Hak Pejalan Kaki dan Kebutuhan Sopir Truk

Kekuatan Tradisi Gotong Royong

Gus Ipul menekankan bahwa Indonesia memiliki modal sosial yang sangat kuat berupa tradisi gotong royong. Tradisi inilah yang memastikan bahwa setiap kali bencana melanda, arus bantuan logistik mengalir deras tanpa henti. Bantuan tersebut tidak hanya bersumber dari anggaran pemerintah, tetapi juga dari komunitas, sektor swasta, lembaga filantropi, hingga inisiatif perorangan.

“Itu selalu kita lihat. Bahkan dalam setiap bencana, dukungan logistik itu tidak pernah kurang, justru seringkali berlebih. Di manapun ada bencana, dukungan logistik itu selalu melimpah,” ujar Gus Ipul.

Fenomena ini membuktikan tingginya solidaritas sosial masyarakat Indonesia yang secara refleks bergerak membantu sesama saat terjadi musibah.

Hambatan di Jalur Distribusi

Kendati stok logistik melimpah, Gus Ipul mengakui adanya kendala teknis yang krusial di lapangan, yakni proses penyaluran atau distribusi. Melimpahnya barang bantuan sering kali tidak sejalan dengan kecepatan penyaluran ke tangan korban, terutama mereka yang berada di titik-titik terisolasi.

“Tantangannya adalah pendistribusian. Bagaimana distribusi ini betul-betul bisa menjangkau seluruh mereka yang membutuhkan, dan bagaimana daerah yang terisolir itu semuanya bisa dicukupi kebutuhan logistiknya,” jelasnya.

Masalah distribusi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari akses jalan yang terputus akibat bencana, kurangnya armada transportasi yang memadai di medan berat, hingga koordinasi data penerima bantuan yang kadang tumpang tindih.

Belajar dari Kasus Lumajang

Sebagai ilustrasi nyata, Gus Ipul mencontohkan penanganan bencana banjir lahar dingin Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Pada saat itu, volume bantuan yang masuk begitu masif hingga membuat pemerintah daerah setempat kewalahan dalam mengelolanya.

Ia memaparkan bahwa pola bantuan yang datang sering kali tidak terkoordinasi dengan baik. Ada bantuan yang langsung diserahkan ke warga, ada yang menumpuk di posko kabupaten/kota, dan ada pula yang tertahan di jalur distribusi.

“Sumbangan datang dari mana-mana sampai kadang-kadang pemerintah daerah kewalahan. Kadang-kadang ada yang langsung ke sasaran, ada yang ditumpuk di kabupaten/kota, dan seterusnya,” paparnya. Hal ini menegaskan bahwa manajemen logistik sama pentingnya dengan pengumpulan donasi itu sendiri.

Kedermawanan Lintas Batas

Lebih jauh, Gus Ipul menyebut bahwa kedermawanan bangsa Indonesia tidak hanya terbatas pada bencana dalam negeri. Ia menyoroti besarnya atensi dan bantuan masyarakat Indonesia terhadap krisis kemanusiaan global, seperti yang terjadi di Palestina.

“Jangankan yang ada dalam negeri, luar negeri pun itu banyak sekali bantuan-bantuan dari masyarakat Indonesia. Kalau kita mau perinci bagaimana sumbangan ke Palestina, itu sungguh sangat luar biasa dari tahun ke tahun,” ungkapnya.

Harapan ke Depan

Menutup pernyataannya, Gus Ipul mengajak seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan untuk terus menjaga semangat kebersamaan ini. Namun, ia juga menekankan pentingnya perbaikan dalam sistem koordinasi.

Harapannya, semangat gotong royong yang tinggi dapat diimbangi dengan manajemen distribusi yang lebih rapi, terukur, dan tepat sasaran. Dengan demikian, bantuan yang melimpah tidak hanya menumpuk di gudang atau posko utama, melainkan benar-benar sampai ke tangan warga yang paling membutuhkan di pelosok bencana.