Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyampaikan desakan kuat kepada pemerintah untuk segera melaksanakan investigasi mendalam terkait bencana banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera. Bencana yang telah merenggut nyawa ratusan jiwa ini diduga bukan semata-mata akibat faktor alam, melainkan diperburuk oleh faktor non-ekologis. Selain investigasi, DPR juga mendesak agar pemerintah menetapkan peristiwa ini sebagai bencana nasional.

Tuntutan Investigasi Komprehensif

Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda, secara tegas mendorong pemerintah melakukan penyelidikan atas pemicu banjir dan longsor di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Tujuan investigasi ini adalah untuk memastikan apakah bencana ini murni disebabkan oleh curah hujan ekstrem, atau terdapat faktor lain yang memperparah skala dampaknya.

“Kami mendorong investigasi pemicu bencana di Sumatera bagian utara ini. Apakah ini murni masalah ekologis atau karena murni cuaca ekstrem,” ujar Huda dalam keterangannya, Jumat (28/11/2025).

Huda menekankan bahwa analisis komprehensif dari investigasi ini sangat krusial. Hasilnya diharapkan dapat menjadi landasan untuk perumusan kebijakan penanganan bencana yang lebih efektif di masa depan. “Ini penting agar ke depan bisa dijadikan pelajaran untuk mengantisipasi dan meminimalkan potensi bencana besar di kemudian hari,” jelasnya.

BACA JUGA : Peningkatan Korban Meninggal Bencana Banjir Bandang Agam Mencapai 47 Jiwa

Kecurigaan pada Tata Kelola Lingkungan dan Gelondongan Kayu

Senada dengan Komisi V, Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, juga menilai pentingnya penyelidikan ini untuk mengidentifikasi penyebab pasti bencana, termasuk mencari pihak yang harus bertanggung jawab atas kerusakan masif yang terjadi.

Kecurigaan Marwan dipicu oleh temuan banyaknya gelondongan kayu yang ikut terseret arus banjir. Material kayu ini diduga menjadi salah satu penyebab utama kerusakan infrastruktur dan permukiman warga. Video-video yang viral di media sosial menunjukkan gelondongan kayu tersebut menambah daya rusak banjir secara signifikan.

Menurut Marwan, kondisi ini mengindikasikan adanya masalah serius pada tata kelola lingkungan, seperti deforestasi atau alih fungsi lahan yang dilakukan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.

“Oke, siklus ini yang belum bisa kita kelola dan kendalikan memang curah hujan cukup besar. Tapi, kalau sekadar curah hujan yang besar, tidak menjadikan bukit-bukit longsor, gelondongan kayu terbawa arus yang memutuskan jembatan, gelondongan kayu yang menyapu rumah-rumah habis, tidak separah itu yang diderita oleh masyarakat,” ungkap Marwan. Ia menambahkan, setelah penyelidikan tuntas, pemerintah harus berani menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian materiil dan non-materiil.

“Ini kita triliunan ini menyelesaikan ini, gara-gara banyaknya gelondongan yang terbawa arus. Nah, siapa itu, ulahnya siapa,” tegas Marwan, menyoroti besarnya kerugian ekonomi akibat kerusakan tersebut.

Krisis Ekologi sebagai Alarm Keras

Anggota Komisi VIII DPR RI lainnya, Dini Rahmania, menilai bahwa serangkaian bencana ini harus dipandang sebagai alarm keras adanya krisis ekologi di wilayah tersebut. Krisis ini diduga kuat akibat pembiaran terhadap praktik alih fungsi lahan dan deforestasi di kawasan yang sejatinya berfungsi sebagai daerah resapan air.

Penetapan status bencana nasional, di samping investigasi, dianggap perlu untuk menggerakkan sumber daya nasional secara terkoordinasi dan cepat dalam penanganan darurat, pemulihan, dan rehabilitasi pasca-bencana.